Dialog Agama untuk Perdamaian

aktivis imm

Modernis.co, Malang – Aksi penembakan di Masjid An-Noor, Christchurch, Selandia Baru (15/3) yang mengakibatkan jatuhnya 49 korban jiwa dan melukai 48 orang lainnya merupakan tindakan teror yang tidak bisa ditolerir, apalagi tanpa alasan yang jelas.

Di sisi lain, aksi brutal ini dilancarkan di saat umat Islam sedang khusyuk menunaikan ibadah shalat jumat di masjid An-Nor. Selain memilukan, pelaku juga menyebarluaskan aksinya melalui sosial media (sosmed) sehingga menambah kesan bahwa aksi ini memang disengaja dan diperuntukkan untuk mengancam kedamaian publik.

Kecamanpun datang dari berbagai negara di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kalau ditelaah, aksi terorisme ini adalah sebuah tanda di mana rasa benci masih merajalela di tengah-tengah kita. Apalagi pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika yang menjadi awal mula munculnya ketakutan-ketakutan yang berlebihan terhadap kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat dunia, atau yang biasa kita sebut dengan Islamphobia.

Ketakutan pada Islam inilah yang melahirkan beragam gerakan tindakan kekerasan yang berujung pada hilangnya nilai kemanusiaan yang selalu berusaha menjunjung tinggi sikap harmonis dan mencintai perdamaian.

Di samping itu, Selandia Baru juga merupakan negara yang sangat menerima pandangan multikulturalisme, dan bahkan menjadi sebuah sikap kebangsaan yang patut dicontoh oleh berbagai negara di dunia. Menurut Index Global Peace, Islandia Baru adalah negara nomor dua paling damai di dunia.

Artinya sikap multikulturalisme betul-betul tertanam di dalam diri masyarakat Islandia Baru sehingga sangat wajar bila menjadi salah satu negara terdamai di dunia. Namun, dengan tragedi ini, orang tentu akan bertanya-tanya ada apa dengan Islandia Baru?

Islamphobia

Agama seringkali menjadi sebab terjadinya kericuhan yang mengundang peperangan antar agama terjadi. Meskipun di setiap agama mengajarkan tentang pentingnya toleransi, harmonisasi dan sikap tenggang rasa dalam beinteraksi dengan pemeluk agama lain, namun adanya paham ektsrimis di setiap agama menjadi pemicu utama terjadinya berbagai macam aksi radikalisme dan terorisme.

Johan Galtung berpendapat bahwa paham yang ekstrim mengakibatkan matinya nalar keagamaan dan melahirkan sikap fanatik berlebihan. Sehingga tidak mampu menampilkan sikap terbuka dan menutup ruang-ruang dialog terhadap umat beragama. Alhasil penilaian terhadap pemeluk agama lain didasarkan pada streotipe yang tidak ada landasannya.

Islamphobia adalah sikap negatif yang disandarkan pada sebagian besar kelompok pemeluk agama Islam yang serupa dengan sikap rasisme, seksisme, dan anti-semitisme.

Islamphobia menunjukkan adanya sikap kecemburuan, kecemasan, penolakan, ketakutan, dan permusuhan yang ditunjukkan terhadap umat Islam dengan cara yang berlebihan (Blech, 2012). Hal ini disebabkan oleh kuatnya dendam historis yang muncul pasca perang salib berlangsung, di mana Islam sangat mendominasi peradaban umat manusia, termasuk negara-negara Eropa seperti Andalusia dan Romawi.

Namun, dendam ini mengalami evolusi seiring dengan perkembangan agama-agama di dunia. Dewasa ini, Islamphobia merupakan fenomena yang lahir dan berkembang berkat adanya sikap tertutup dan kebencian berlebihan pada agama Islam. Mengutip pernyataan Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan, bahwa kenapa setiap serangan teroris yang ada di muka bumi ini ketika orang yang beragama Islam yang melakukan maka agamanya yang disalahkan?.

Sedangkan ketika pelakunya adalah orang Yahudi, Nasrani, Budha, ataupun Hindu, tidak ada yang menyalahkan agamanya. Ini jelas adalah wabah Islamphobia, di mana banyak orang yang menjadikan Islam sebagai agama para teroris. Terang Erdogan dalam sebuah pidatonya saat menanggapi tragedi penembakan di Selandia Baru (15/3).

Di sisi lain, menguatnya Islamphobia juga tidak lepas dari pemberitaan Islam di media-media mainstream. Banyak media yang memberitakan Islam tidak secara utuh (parsial), justru pemberitaan yang ada lebih eksplisit pada kejadian di mana orang-orang Islam yang melakukan tindakan kekerasan saja.

Sehingga opini publik diarahkan untuk membenci umat Islam karena dianggap Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan. Padahal, intisari ajaran Islam yang berkaitan erat dengan relasi kehidupan antar umat manusia sangat jelas berbicara tentang bagaimana Islam menjadi agama yang rahmatan lil alamin, atau agama yang menyebarluaskan cinta dan kasih sayang kepada seluruh alam semesta dan isinya.

Penyerangan umat Islam di Selandia Baru sangat jelas menggambarkan bagaimana wabah Islamphobia masih ada di sekitar kita. Tragedi ini menunjukkan bahwasanya Islampohobia masih menjajah rasa kemanusiaan sebagian orang di dunia sehingga dengan tega menghilangkan nyawa 49 orang muslim di Selandia Baru. Jelas ini adalah ironi, mengingat propaganda perdamaian antar umat beragama sangat massif digalakkan di berbagai negara, khususnya Selandia Baru yang sangat terbuka pada pandang multikulturalisme.

Mendorong Dialog Antar Agama

Demi mewujudkan perdamaian, para tokoh agama, aktivis, dan cendekiawan mendorong lahirnya dialog antar agama untuk menetralisir tuduhan-tuduhan negatif terhadap agama tertentu terjadi. Hal ini dilakukan agar kesadaran pluralisme terbangun di dalam diri umat beragama.

Dengan begitu kita bisa mendorong terciptanya suatu relasi positif antar umat beragama dan mewujudkan sikap keberagamaan yang rukun, toleran dan saling menyanyangi satu sama lain. Dengan adanya dialog antar umat beragama, pemahaman tentang ajaran agama lain bisa didapatkan sehingga streotipe negative terhadap agama tertentu bisa dihilangkan.

Dialog juga bisa menjembatani segala hal yang selama ini dianggap salah oleh umat beragama, seperti anggapan tentang Islam sebagai agama para teroris. Selain itu, dengan mendorong intensitas dialog seperti ini kita bisa membangun paradigma baru dalam beragama dan berinteraksi dengan agama lain.

Ajaran-ajaran agama yang mengedepan kasih sayang terhadap sesama juga bisa digelorakan bersama sehingga tidak ada lagi kebencian yang melahirkan sikap seperti Islamphobia. Prinsipnya, dialog antar agama dilakukan bukanlah untuk menyalahkan agama lain, apalagi membesarkan egosentris pemeluk agama yang ada untuk menyerang pemeluk agama lain.

Melainkan mendudukan sebuah nilai yang berlaku pada siapapun, yaitu nilai kemanusiaan yang di dalamnya terdapat sikap saling memahami, menyanyangi dan empati. Karena setiap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang tidak berdosa adalah tindakan terorisme.

Sama halnya dengan yang terjadi di Selandia baru, di mana 49 orang meninggal dan 48 lainnya terluka akibat penembakan brutal yang dialakukan tanpa sebab apa-apa. Maka tidak ada satupun alasan yang tepat untuk tidak menyebut tragedi ini sebagai tindakan teroris, dan lagi-lagi pelakunya bukanlah pemeluk agama Islam.

Oleh: Nur Alim Mubin, S.Psi (Sekjend DPD IMM Jatim)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment